Salah satu prosedur penting dari rangkaian perwujudan cita-cita adalah melewati etape kegagalan. Hanya saja, kerap kali kegagalan dieskalasi menjadi ketakutan berjangka panjang, yang pada gilirannya malah mendistraksi diri kita; mulai tak berani mencoba lagi, takut mengambil risiko, hingga kecemasan yang berlebihan.

Kegagalan itu menjadi lama dan larut dalam hidup kita, lantaran kita kurang tepat mempersepsikan, sekaligus keliru menghayatinya. Kalaulah kita mau merekonstruksi cara pandang kita tentang kegagalan itu sendiri, maka kegagalan itu akan kembali pada fitrahnya, yaitu fase yang menghiasi atau memperindah setiap puzzle kehidupan kita. Dalam kalimat yang beda, bisa kita sebut: kegagalan yang artistik.

Sampai di sini, seluruh bauran persepsi kita tentang kegagalan, itu bukan lagi sebuah bencana atau penghambat, melainkan suatu nilai keindahan hidup. Coba pikirkan, bahwa untuk mencapai sebuah kegagalan saja, kita butuh banyak energi. Pikiran, tenaga, dan emosi kerap kali mengalami benturan hebat yang memungkinkan kita kehilangan daya juang, lalu akhirnya roboh.

Tak hanya kesuksenlah yang membutuhkan banyak energi, tapi kegagalan pun memerlukan formula yang kurang lebih, sama. Jadi, apabila kita mengalami kegagalan, maka itu patut disyukuri untuk bangkit lagi dan lagi, bukan diratapi begitu lama.

Kalkulasi yang tepat ketika gagal, akan menjaga peluang kita untuk terus berada dalam sirkuit kesuksesan, bahkan mendatangkan sejumlah keuntungan:

Pertama, memperkuat  daya juang. Kita yang sering kali gagal, secara alamiah akan memiliki daya tahan lebih ketika mengalami kegagalan berikutnya, baik pikir, fisik, maupun psikis. Mengapa? Sebab sudah kodratinya manusia memiliki survival instinct. 

Kedua, meningkatkan daya analitik atas sabab-musabab kegagalan. Hasilnya, kita dimungkinkan mampu bergerak lebih efisien dan dinamis karena telah memiliki bekal instrospeksi yang cukup dari kegagalan sebelumnya.

Ketiga, momentum pelipatgandaan quota kesabaran sekaligus kesadaran penerimaan, bahwa setiap kegagalan mesti disikapi dengan lapang dada dan penuh prasangka baik.

Terakhir, saya punya sedikit saran sederhana saja dari bahasan ini: buatlah setiap kegagalan kita adalah bagian dari pola hidup yang artistik, bukan yang tragedik.
#shulhanologi #shulhanrumaru

Baca Selengkapnya >>>
0 komentar


Selembar daun tua nampak lunglai. Ia terkapar kehabisan tenaga, seperti akan tercerabut dari sepotong ranting yang digelayutinya sejak hijau dulu. Keriput epidermis dan warna yang berganti kecoklatan, menunjukkan usia sebenarnya; sudah tak memungkinkan lagi baginya menjadi bagian dari kelompok fotosintesis dedaunan muda.

Lemas sudah, pasrah, kini ia menunggu angin membawa ajalnya. Satu dua kibasan, bergoyang batang daunnya pelan, lalu empasan ketiga membuat daun tua itu terkoyak. Terombang-ambinglah dirinya yang sendiri, ke depan, ke belakang, terhuyung ke kiri, lalu ke kanan mengikuti arus angin. Ia pasrah. Sembari menikmati kejatuhannya, daun tua itu sempat mengulang memori baktinya pada sang pohon yang masih tegak menjulang. 

Napasnya telah tersengal, tertahan satu-satu, dan mulai melemah. Semakin ke bawah, sisa-sisa cadangan oksigennya kian menipis. Yang ia rasakan kini, tarikan paksa gravitasi mengempaskannya ke bumi. Dan tatkala hampir menyentuh permukaan, daun tua itu menyadari; dari tanah, akhirnya kembali ke tanah.  #ceritamini #shulhanrumaru




Baca Selengkapnya >>>
0 komentar

Lihat gambar di atas baik-baik, dan begini ceritanya...

Dulu, sewaktu nyantri di Ciamis, sandal jepit swallow hijau gw suka ilang diambil santri lain (sesekali hanya dighosob alias dipake gak bilang2, trus udah lama baru dibalikin). Alhasil, gw bikin kayak di gambar persis. Tulisannya,  USTADZ (capital letters) dan tentunya gw gembok pula (biar makin aman). Alhamdulillah, hari itu, jadi Sholat Jumat terkhusyu gw krn gak was-was lagi bakal kehilangan sandal. Lah kok, selesai Jumatan, masih tetep ilang? Arrrggg, sumpah kesel ke ubun-ubun dong gw. Lantas, gw usutlah siapa pelaku "kejahatan" itu. 😁

Di tengah ke-riweuh-an bercampur kesal yang berkecamuk, tiba-tiba datang seorang kawan dgn wajah berbinar penuh bahagia, dan bilang:

"Han..." hahaha...ketawa terbahak seolah menjeda sebuah cerita yg bakal kocak abis.

"Ini hari, bakal jadi cerita indah gw seumur hidup..." hahaha...ketawa lagi tnp gw tau apa yang mau dia ceritain.

"Tadi, gw buang sandal jepit USTADZ kita di pembuangan sampah besar. Gila, lagian pake digembok segala..." haa... "Pok..." belum sempat dia tuntasin ketawanya, satu "tamparan" manis mendarat di pipinya.

"Itu punya gw, coooyyyy...." Tanpa komando, doi langsung ngikut gw ke TKP dan ambil lagi sandal kesayangan itu, JEPIT Swallow hijau. Sekian!!! 😂😁
#nyantiituasyik #nostalgiasantri #cetitajamannyantri
Baca Selengkapnya >>>
0 komentar
shutterstock.com


Perempuan tua itu menghadap pantai, menyapu pandangan pada sekumpulan ombak yang berlomba ke arahnya. Ia masih duduk membelakangi kawanan kamboja dan aku melewatinya. Lagi, ia masih bergeming. Nampak seperti ia menanti kenangan. Tiga kali sudah, saat keringat mulai melewati parit-parit kecil di wajahku dan dada yang mulai hosa memompa udara, aku beranikan diri menyapanya sembari mengatur istirahat.

"Sepagi dini, nenek kenapa di sini?"

"Berdialog dengan angin," jawabnya tanpa menoleh ke arahku.

"Masih dingin, nek. Angin pasti mengoyak keriputmu."

"Ah, anak muda, merasa tau segala ihwal. Kamu hanya melihat sejauh matamu, seperti para birokrat myopia."

"Aku merasa terhibur di sini. Kesunyian yang ramai. Tak seperti sepi dalam keramaian manusia mekanis di jantung pulau ini." Ia menyambung kalimat yang seakan terputus tadi, tanpa membiarkanku menyuguh balasan.

"Siapa yang menghiburmu?"

"Dia, lelaki itu." Ditunjuknya sebongkah karang yang dihantam ombak bertubi-tubi.

Kuperhatikan, ia seakan berbincang dengan masa lalu. Pasti teramat indah, sampai ia terburu-buru ke pantai ini dengan berkebaya lusuh sebelum matahari menunjukkan kuasanya. Aku tak abis pikir, sepahit itu kah kenangan bila ia tinggalkan? Siapa lelaki misterius di karang sana? Tak tega rasanya, melihat tubuh tua itu melawan dingin dan embun yang basah, hanya untuk duduk di sini. Letih pun hilang, ku hela napas perlahan dan dalam sekedar memberi jeda pada obrolan kami.

"Nak, saat bulan purna berpayung pelangi, aku dan segerombolan anak kura-kura bermain di sini. Kami melawan beberapa burung jagal yang mau mematuk telur saudara mereka. Sesekali ku tutup rapat lubang-lubang yang digali sang induk untuk mengeram telurnya dengan rumput dan sedikit pasir. Lalu, lelaki itu datang membawa sebagian lain untuk dilepas ke laut."

Aku hidmat, mendengar ia melanjutkan cerita meski pun aku tak tau dari mana datangnya. Yang aku tahu, perempuan tua ini lebih dulu tiba di tubir pantai saat aku datang.

"Bulan pake payung, teteruga batalor..." Suara paraunya melantunkan lagu klasik kala aku masih 10 tahun. Lagu yang mengabarkan aktivitas kura-kura betina menghabiskan masa betelurnya di pesisir pantai saat bulan purnama.

Hmmm, perempuan tua itu seakan tau lagu kesukaanku tempo dulu. Sepertinya ia sedang menebak masa kecilku, dimana aku bermain di pinggir pantai saat bulan bundar sepenuhnya berhias pelangi, dan butiran pasir putih yang terlihat bak pecahan kaca memantulkan cahaya.

Aku menatapnya lekat-lekat. Pilu bagiku membaca kenangan di mata perempuan tua itu, begitu penuh, sesak, dan belum lapuk meski uzur merenggut usianya. Aku seakan diajarkan bertelanjang dengan masa lalu. Diajarkan jujur pada kenyataan, tentang apa saja, tentang rindu.

"Aku masih muda belia, waktu itu. Sama seperti gadis lain yang sedang mekar. Banyak lelaki menyuguhkan budi, menampakkan sisi maskulin, memburu bak kumbang menghisap habis saripati. Tapi lelaki itu, lain. Sangat lain." Kisahnya sambil mengarahkan telunjuk ke karang yang sama.

“Ah... mungkin dimasa mudanya, jakun para lelaki sulit menari. Bahkan, mereka banyak meminum liur sendiri lebih dari kebutuhan delapan gelas seharian. Nampak gurat keriputnya masih menyisakan kecantikan parasnya bertahun silam…”

"Dia memfilsafatiku." Sedak tangisnya membongkar lamunanku. Duh, iIngin sekali kupungut air matanya biar tak berserakan. Tapi, lelaki juru kunci di belakang perempuan tua itu teriak mengagetkan.

"Jangan lama-lama di situ. Sudah bertahun lapuk dia menatap karang dan membelakangi ratusan kuburan di sini, menunggu ajal bersama kenangannya."

Iya, sudah waktunya aku pulang. Matahari nampak merayap naik dengan cepat. Aku terpaksa meninggalkan perempuan tua itu, yang sayup-sayup sempat ku dengar ia merapal; "Amin", menimpali lelaki tadi. (SR)

Baca Selengkapnya >>>
0 komentar


Dilansir dari kabartimurnews, Kantor Cabang Kejaksaan Negeri (Kcabjari) Geser memburu sejumlah kepala desa di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) yang diduga kuat terlibat penyelewengan dana desa dan ADD. Terkait ini, setidaknya 11 Kades dan bendahara dibidik sebagai calon tersangka.

Para kepala desa dan bendahara ini dalam mengelola dana desa dan ADD, terindikasi melakukan penyelewengan anggaran. Modus yang dipakai adalah fiktif dan mark up, sisanya digunakan langsung untuk kepentingan pribadi.

“Ada 9 desa yang kasusnya di tingkat penyidikan, 2 desa siap kita naikkan juga ke penyidikan. Jadi ada 11 kepala desa dan 11 bendahara, totalnya 22 orang siap-siap jadi tersangka,” kata Kacabjari Geser Ruslan Marasabessy kepada Kabar Timur, Rabu, kemarin.11 kepala desa dan 11 bendahara desa, atau total 22 calon tersangka ini berasal dari desa yang berada di Kecamatan Gorom, Geser dan Wakate. “Antara lain, Kilmaur, Madaur, Mising, Waisalang, Air Nanang dan beberapa lainnya. Pokoknya ada 11 Desa,” ungkapnya.

Sejujurnya, beta ini awam tentang dana desa. Ya, sebagai orang yang minim informasi, beta cuma tahu kalau setiap tahun di beta pung desa Suru (Kab.SBT, Maluku) maupun di desa-desa lainnya, mendapat kucuran dana ratusan juta rupiah dari pemerintah pusat yang disalurkan secara bertahap untuk dimanfaatkan bagi kesejahteran warga.

Sebelum lebih jauh, beta mau kasih sedikit saja data umumnya. Sejak pertama kali digulirkan pada tahun 2015 dengan jumlah anggaran sebesar Rp 20,76 triliun—meski angka serapan masih rendah—namun alokasi Dana Desa terus meningkat. Di tahun 2016 menjadi Rp 46,9 triliun, menigkat Rp 60 triliun pada tahun 2017, lalu tahun 2018 ini alokasi dana desa ditetapkan sebesar Rp 60 triliun, dan kabarnya dana desa 2019 akan dinaikkan lagi.

Realisasi anggaran dana desa sebesar Rp 127,2 triliun dalam periode 2015-2017 telah dimanfaatkan. Antara lain untuk pembangunan sekitar 124 ribu kilometer jalan desa, 791 kilometer jembatan, akses air bersih 38,3 ribu unit, dan sekitar 3 ribu unit tambatan perahu. Selain itu, juga pembangunan 18,2 ribu unit PAUD, 5,4 ribu unit Polindes, 6,6 ribu unit pasar desa, 28,8 ribu unit irigasi, 11,6 ribu unit Posyandu, dan sekitar 2 ribu unit embung.

Pertanyaannya, adakah dari sekian banyak realisasi dana desa yang disebutkan di atas, juga dirasakan basudara samua? Kira-kira katong pung kampung juga masuk dalam data yang begitu bagus di atas? Atau malah sebaliknya, masuk dalam data desa-desa yang tidak memaksimalkan dana desa dengan baik. Malahan, kepala desanya terjaring kasus korupsi dana desa itu sendiri.

Beta tambah sedikit pertanyaan lagi, apakah basudara dong pung kampung su tarang? Atau jangan-jangan masih galap karena lampu sabiji di muka jalan pas malam hari saja seng ada. Basudara dong pung desa su punya genset? Ya, minimal bisa dipakai untuk kasih manyala lampu masjid deng putar tarhim magrib. Lalu, adakah alokasi dana desa untuk beasiswa skripsi bapa dorang pung anak yang lagi kuliah smester akhir?

Biar beta seng terkesan banyak tanya, mari katong kembalikan pada beberapa Prioritas Penggunaan Dana Desa menurut Permen No. 16 Tahun 2018 yang tercantum dalam Pasal 4, tiada lain yaitu pembangunan fisik dan SDM desa. Inti dari dana desa itu sebenarnya hanya dua itu saja. Tapi, pada praktiknya, pemerintah desa harus menjalankan empat program utama kementerian:

PertamaMembuat Produk Unggulan Kawasan Perdesaan (Prokades). Sekarang coba lihat di bapak ibu dong pung desa, adakah prokadesnya? Misalkan, kopi kampung, kacang goreng, manisan atau apa? Jangan-jangan selama ini, seng ada satupun produk desa yang mampu dihasilkan. Kalau seng ada, jujur saja e, itu pemerintah desa pamalas karja atau memang seng tahu bagaimana cara membangun desa. Demo dorang!  

KeduaKepala desa diminta mengalokasikan dana Rp 200 juta sampai Rp 500 juta untuk membuat embung air desa. Fungsinya, sebagai sarana menunjang produk tanaman desa. Kalau program ini dirasa kurang sesuai dengan katong pung daerah, tentu saja bisa dialihkan sesuai kebutuhan pertanian yang ada di masing-masing desa. Tapi lagi-lagi beta tanya, bapak ibu sudah rasakan realisasi program ini? Kalau belum, demo dorang!

KetigaMasyarakat desa harus membuat Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Pembentukan Bumdes tersebut lantaran pemerintah berencana membentuk PT Mitra Bumdes Nusantara. Contohnya, seperti di Cirebon (ini di Jawa Barat, wancia Jawa si) akan dibuat PT Mitra Bumdes Cirebon, sahamnya 51 persen saham nasional, 49 persen dari desa. Nanti semua subsidi pemerintah akan disalurkan lewat mitra Bumdes.

Pertanyaannya, di bapak ibu pung kampung, sudah dibuatkan Bumdes ka balong? Jangan sampai, kepala desa atau siapapun pejabat itu, katong biasakan mereka untuk tidak memberi ruang-ruang usaha bagi warga tapi katong hanya tahu minta alias tada tangan saja. Ini yang bikin kepala desa dapa tangkap banya. Abis magei, seng kasih dibilang skakar, kalau kasih ancaman penjara. Jadi, mari saling mendukung dan spekat untuk lebih maju dengan berusaha lebih kreatif lagi.

Terakhir, yang KeempatKepala Desa diminta mengalokasikan dana desa Rp 50 juta sampai Rp 100 juta untuk membuat lapangan olahraga desa. Lapangan olahraga desa tersebut diharapkan adanya aktivitas positif bagi anak muda desa. Dalam penafsiran beta, bukan hanya lapangan tapi ruang publik berupa sport center alias pusat olahraga. Nampaknya sepele, tapi salah satu indikator kebahagian warga adalah tersedianya ruang publik sebagai arena pertukaran informasi dan komunikasi satu dengan lainnya.

Sebentar, masih pada kuat baca ka seng ini? Lanjut e… Sekarang, katong bahas masalah-masalah dana desa. Permasalahan dana desa yang paling sering muncul adalah:

PertamaAdanya penggelembungan honorarium sejumlah pejabat pemerintah desa. Jadi, penggelembungan ini seng hanya terjadi pada surat suara pemilu saja, tapi gaji lai menggelembung.

KeduaTindakan korupsi yang hampir sama juga kadang dilakukan dengan membuat agenda perjalanan fiktif bagi seluruh pihak pemerintah desa. 

KeempatMelakukan peminjaman uang di desa. Masalahnya, pinjaman uang itu tidak dikembalikan. Ini bahaya, bahasa lainnya pancuri tapi bilang pinjam.

KelimaMenyogok pendamping desa atau polisi. Terlebih lagi, Polri sudah dilibatkan dalam pengawasan dana desa yang berlaku sejak melakukan penandatangan Nota Kesepemahaman dengan Kementerian Desa, 20 Oktober lalu. 

KeenamMembuat LPJ fiktif. Bahasa lainnya, sudah tidak melakukan perubahan dengan dana desa, malah sibuk bikin laporan pertanggungjawaban fiktif yang itu pun anggarannya tidak sedikit. Kalau seng salah, data 2017 yang beta baca dari majalah Gatra bahwa korupsi akibat pembengkakan anggaran LPJ seluruh desa di Indonesia bisa tembus 10 milyar lebih. Wow, fantastik.

Meskipun begitu, sebenarnya ada kendala besar lainnya seperti, rendahnya realisasi anggaran tersendat dari pusat ke daerah hingga ke desa disebabkan pemerintah daerah yang masih fokus pada upaya penyaluran Tahap I sebesar 20 persen dari RKUD ke Rekening Kas Desa (RKD). Hal itu membuat penyaluran Tahap II sebesar 40 persen jadi terlambat. Selain itu, ada juga yang sengaja bendahara dong tahang dana desa lama-lama di kas daerah dan bahkan pencairannya pun mungkin ada sedikit uang terimakasih. Budaya uang terimakasih ini yang biking pejabat daerah dong korupsi banya. Mari katong ubah perilaku kerja kita dengan bekerja sesuai tupoksi dan tidak meminta imbalan lain di luar hak kita. Bisa? Bisa aja kalau punya niatan baik untuk berubah.

Terakhir paskali ini… Nampaknya, yang paling kurang dari kita sekarang, bukanlah anggaran pembangunan, bukan pula tenaga kerja maupun tenaga ahli, melainkan KEKURANGAN ITIKAD BAIK.

Memang, benar adanya kalau kita di Kab. Seram Bagian Timur, Maluku, masih banyak kekurangan. Tapi, coba lihat ke dalam diri kita sendiri untuk mengintrospeksi cara kita mengelola daerah; mulai dari tata kelola pemeritahan, pemberdayaan tenaga kerja, pengelolaan keuangan daerah juga dana desa, hingga upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Sudahkah kita seriusi semua itu? Adakah niatan baik kita untuk tulus ikhlas membangun tanpa silau dengan kemilau rupiah yang datang ke meja kerja kita? Tergodakah atau konsisten kita menjaga amanah rakyat? Mari jawab semua itu dengan akal sehat dan hati nurani. (SR)







Baca Selengkapnya >>>
0 komentar

Kau bertawaf dalam pikiranku
Mengelilingi kenangan yang terpancang
Berteduh di bawah langit hatiku
Hujan pun menabur pesonamu

Dari sekian doa
Yang aku tak tahu lagi berapa jumlahnya
Kuharap Tuhan menyajikannya
Sebagai kebahagiaan untukmu
Hanya teruntuk kamu
Kenangan (SR)
Baca Selengkapnya >>>
0 komentar
Gambar diadopsi dari mediamu.id


Tuhan, Tinggallah di Rumahku!
Aku dengar dari kabar berita
Tuhan telah diusir dari rumahNya
Tempat manusia merapal doa
Aku dengar dari kabar berita
Tuhan dimintai surat izin menetap
Supaya tak sembarang tinggal di rumah ibadah
Aku dengar dari kabar berita
Tuhan dipaksa berpolitik praksis
Tak menerima jenazah beda pilihan
Aku dengar dari kabar berita
Tuhan disekap dalam rumah ibadah
Bernegosiasi tuk kepentingan duniawi
Aku dengar dari kabar berita
Rumah-rumah ibadah kian selektif
Menerima kehadirat Tuhan
Kalaulah begitu adanya
Tuhan, tinggallah saja di rumahku
(Shulhan Rumaru, Ciputat, 25 Maret 2017)
*******
Temperatur politik yang memanas dan memanggang kewarasan kita belakangan ini, memberi saya sedikit asupan nutrisi kritis sekaligus puitis. Jadilah puisi sederhana ini sebagai perwakilan singkat dari ketidakmengertian saya akan sikap politik yang jauh dari nilai-nilai asketisme politik. Diskursus yang dibangun para politisi di media, nampaknya jauh dari kesan mencerdaskan dan mencerahkan, bahkan tak sedikit dari kita terfragmentasi ke dalam kantung-kantung pemilih yang kental friksi sosialnya.
Kini, rasionalisasi dukungan politik dibuat seaktual mungkin untuk mengendalikan nalar publik. Herbert Marcus menyebut realitas semacam ini sebagai "rasionalitas teknologis", atau dalam pandangan Max Horkheimer disebut "rasio intsrumental". Maksudnya, elit politik gencar merasionalisasikan kerja dan interaksi mereka supaya diterima publik dengan kesan seolah-olah tanpa paksaan. Contoh paling aktual saat ini, ya, melalui pendekatan legitimasi agama. Dalam strategi komunikasi politik disebut sebagai strategi sosial tradisional. 
Sebenarnya, tak ada yang salah dari strategi sosial tradisional, namun cara menjalankannya tergelincir dari rasa kritis dan berorientasi teramat transaksional. Para politisi berkepentingan kerap merapat ke pemuka agama demi dukungan politik. Benar-benar hanya demi akumulasi elektoral semata. Lantas, di lain sisi mengabaikan soliditas sosial yang lambat laun terkoyak. 
Mari belajar dari kisruhnya Pilkada Jakarta tempo lalu, dimana mesin-mesin politik tak lagi malu memasang spanduk-spanduk penolakan penyolatan jenazah beda pilihan politik, pengusiran jamaah sholat beda rumah politik, dan dalil-dalil agama yang ditafsirkan searah kepentingan elektoral semisal Almaidah 51. Kenapa begitu.
Kalau ada yang bilang, penolakan salah satu cagub DKI murni perintah agama dan bukan urusan politik, maka seharusnya konsisten. Tapi buktinya, inkonsistensi logislah yang terjadi, menolak di DKI tapi mendukung nonmislim di gelanggang politik lainnya. Sebab itu, saya bersikukuh bahwa penolakan terhadap calon nomuslim, narasinya lebih dekat pada kepentingan politik, ketimbang urusan agama. Narasinya jelas, kita bisa merunut dari Risalah Istiqlal hingga kejadian penyebaran video pidato yang diedit dan demonstrasi berlabel angka-angka keramat.
Saya utarakan ini, bukan lantaran saya dulu memilih salah satu cagub dan menolak cagub lainnya, bukan sama sekali. Saya hanya membela kewarasan berpolitik yang tak cuma berjubah agama namun nihil konteks keagamaannya. Jangan lagi berasumsi bahwa ajaran-ajaran agama yang dimasukkan secara tekstual dalam aturan dan praktik politik (atau mengganti sistem pemerintahan berbasis agama), itu akan memperbaiki situasi politik. Justru yang terjadi, semakin mencuat egosentris antarpemeluk agama. Pemahaman terhadap dalil-dalil agama yang keluar dari konteks politik dan situasi faktualnya, pada akhirnya tak menemukan jalan keluar. 
Sebagai jalan tengah, tawaran "asketisme politik" nampak lebih rasional untuk kondisi politik saat ini, terutama menyongsong pilpres 2019 mendatang. Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (1930), menjelaskan konsep asketisme politik sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakan demi kemaslahatan rakyat banyak. 
Kita juga tentu mengenal istilah zuhud dalam khazanah sufisme, yang dalam term politik dimaknai sebagai sikap eskapisme atau mengalienasi diri dari syahwat politik, latihan hidup sederhana dan bersahaja. Asketisme politik lebih diarahkan untuk meningkatkan kesalehan berpolitik, baik di tingkat pribadi maupun institusional.
Kalau sudah begini, kontestasi politik tidak lagi mengandalkan agitasi bermodal dalil-dalil agama yang kontroversial atau multitafsir, melainkan lebih pada pertarungan politik di level substansi, yakni beradu visi-misi kepemimpinan dan program-program pembangunan pro rakyat. (Shulhan Rumaru)


Baca Selengkapnya >>>
0 komentar